Wednesday, October 12, 2011

DENGAN NAMA EKONOMI KITA HIDUP DAN KITA MATI VI

Memoir Gunung Tahan I

Di balik relung-relung luas terhampar hijau itu,
aku lihat, ada tompok-tompok putih kapas menghijabi dada-dada relung hijau itu.
Di antara gebu-gebu kapas itu ada montok-montok hijau bersaing mendada ke atas mengadap Tuhan langit.

Di luas hamparan hijau itu juga, aku lihat,
ada lurah-lurah cinta yang merekah indah ciptaanNya.
Biarpun ia bisa membunuh tatkala langkah tersilap, ia masih indah,
indah yang bisa membinasakan kiranya lalai, bukan salah ia,
Tuhan darat menciptanya sebegitu.

Advencer aku, sang pendusta, di atas sana meruntun pangkal jiwa.
Di tinggi sana, bagai dapat mencapai listrik Tuhan darat dan langit.
Darah aku, seorang pendusta, bergemuruh.
Jiwa aku, seorang pembelot, keliru.
Ketul daging hitam di dalam dada bagai di sentap-sentap urat dari tulang.
Terkedu. Terduduk. Tersedu.

Dingin air di kali puncak itu menusuk-nusuk liang roma bagai jarum-jarum miang.
Namun, ia adalah penyeksaan terindah.
Penyeksaan suci demi Tuhan darat dan langit.
Dingin air itu aku iringi bersama niat.
Mulanya di muka, akhirnya di hujung tumit.

Sepoi dingin hembusan Subuh membakar kulit gersang ini.
Kulit seorang pendusta.
Kulit seorang pembelot.
Berkeriut sendi-sendi hitam menahan ketar.
Tikar putih itu yang sedia terhampar dek sahabat, yang setia pada Tuhan langit dan darat,  mendapat kunjungan aku.

Setiap lafaz, aku iringi dengan jernih yang mengalir dari mata.
Setiap pujian, aku iringi dengan sedu-sedan.
Jiwa aku yang kalut ini, meronta-ronta.
Mahu saja aku menjerit, mengapa, mengapa dan mengapa.

Tuhan langit dan darat yang satu,
Mencipta yang indah dengan tujuan tertentu,
Mengapa harus diciptakan aku,
Yang pendusta lagi palsu. 

1 comment:

Unknown said...

bimbo untuk perempuan.
lelaki, jimbo.